Saturday, November 24, 2018

Mungkin Lebih Baik jika Dijodohkan dari Kecil

perjodohan anak kecil (ilus
perjodohan anak kecil (ilustrasi)
Memang banyak yang menganggap tabu jika anak yang masih kecil sudah dijodohkan oleh orang tuanya. Apalagi bagi masyarakat Indonesia khususnya kaum yang dikatakan "milenial". Mungkin banyak yang menyamakan kasus perjodohan tersebut dengan cerita fiksi di novel terkenal dari daerah Sumatra Barat. Akan tetapi kasus yang terjadi di sini tidak sama bahkan bisa dikatakan berbeda 175 derajat. Pada cerita novel tersebut perjodohan dilakukan oleh orang tua karena terpaksa lantaran tidak mampu membayar hutang kepada saudagar kaya yang sebenarnya memang sudah dikondisikan oleh dia. Pada kasus ini berbeda karena perjodohan yang dimotori oleh orang tua memang dilakukan tanpa paksaan siapapun dan hanya bertujuan untuk mempermudah masa depan anak.

Kasus perjodohan ini juga berbeda dengan kasus pernikahan dini. Mungkin sebagian pembaca langsung teringat dengan kejadian beberapa waktu yang lalu dimana seorang yang kaya raya menikahi anak perempuan kelas enam SD yang merupakan muridnya sendiri. Pada bahasan ini yang terjadi sungguh berbeda karena kedua anak yang dijodohkan tidak benar-benar menikah pada usai belia, melainkan mereka berdua "disarankan" menikah besok ketika sudah dewasa, itu saja dengan catatan keduanya tidak berubah pikiran dalam arti suka sama wanita atau pria yang lain.

Di Indonesia pada saat tulisan ini ditulis angka kelahiran masih cukup tinggi, dengan kata lain masih banyak pasangan muda yang menikah dan punya anak. Akan tetapi angka tersebut akan cenderung turun dan tidak menutup kemungkinan bisa menyusul Jepang dalam beberapa ratus tahun kedepan. Kejadian tersebut bukan terjadi tanpa sebab. Banyak dari orang yang dikatakan dari generasi milenial tersebut punya cara pandang yang berbeda tentang pernikahan, walaupun sebenarnya cara pandang tersebut lebih tepat dikatakan sebagai keterpaksaan. Pada jaman dahulu kehidupan manusia masih sederhana. Mobilitas manusia masih dalam ruang yang sempit. Setiap keluarga yang punya sawah akan mengerjakan sawahnya sendiri, sedangkan yang tidak punya mungkin mengerjakan sawah milik orang kaya didesanya, mungkin juga berjualan barang atau jasa di kota tempat tinggalnya. Jika ada anak laki-laki yang mulai beranjak dewasa mereka pasti akan terpikat dengan gadis di dekat rumahnya kemudian berpacaran di sela-sela "pekerjaannya" yang mungkin masih bisa dikatakan masih sekedar membantu orang tua saja. Akhirnya mereka berdua menikah dan jadilah sebuah keluarga baru yang tinggalnya juga tidak jauh dari rumah orang tuanya. Ilustrasi diatas sangatlah berbeda dengan keadaan yang terjadi pada generasi yang dikatakan "milenial" tadi.

Ada sebuah keluarga yang tinggal di kota besar. Ayahnya seorang direktur di sebuah perusahaan swasta. Tiap hari dia pergi ke kantor, karena jalannya macet dia harus berangkat jam 4 pagi dan pulang jam 10 malam. Tiap beberapa hari sekali dia harus "keliling" cabang yang ada di kota-kota besar seluruh Indonesia. Ibunya bekerja sebagai seorang karyawati juga. Karena kantor ibunya cukup dekat maka di bisa berangkat naik motor jam 7 pagi pulang jam 6 sore. Keluarga tersebut hanya punya satu anak laki-laki. Dia sekolah dari SD, SMP sampai SMA dikota kelahiranya. Karena kedua orang tuanya ketakutan kalau anaknya salah pergaulan maka ibunya selalu menasehatinya tiap malam. Salah satu poin nasehat yang diberikan adalah tidak boleh pacaran kalau belum bekerja. Karena anaknya adalah anak yang penurut maka semua nasehat ibunya dia lakukan dengan baik. Setelah lulus SMA dia kuliah di luar kota. Walaupun sudah jauh dari kedua orangtuanya, sebagai anak yang baik dia masih selalu memegang teguh nasihat-nasihat orangtuanya dulu, termasuk tidak berpacaran sebelum bekerja. Empat tahun kuliah akhirnya dia wisuda juga. Karena memang dasarnya anak pandai dia pun dengan mudah bisa diterima bekerja di sebuah perusahaan dekat kampusnya dengan gaji yang cukup banyak. Karena dia juga anak yang rajin maka pekerjaan barunya dia lakukan dengan baik, hampir tidak pernah ambil cuti tapi malah banyak lembur. Setelah lima tahun bekerja ibunya pensiun dan ingin sekali puynya cucu. Sekarang ibunya tiap malam selalu menelponnya. Sekarang nasehatnya ganti menyuruh anaknya mencari pacar dan segera menikah. Sebagai anak yang baik dia ingin melaksanakan nasehat orang tuanya tapi disatu sisi dia tidak punya banyak tenaga dan waktu untuk melakukannya. Akhirnya ibunya turun tangan dan mencarikan jodoh buat anaknya. Sewaktu pulang dia dikenalkan dengan anak dari kenalan ibunya, tapi perkenalan itu tidak ada kelanjutannya. Parahnya hubungan ibunya dengan kenalan yang anaknya mau dijodohkan tersebut jadi retak karena dikira hanya memberi harapan palsu saja. Hal tersebut tidaklah terjadi karena keinginan anak yang dijodohkan tapi lebih karena keadaan yang memang tidak memungkinkan. Bayangkan saja sebagai anak laki-laki dia pasti tidak bisa asal menikah apalagi dengan perempuan yang baru dikenalnya. Jika ingin mengenalnya lebih jauh sebenarnya bisa saja dia pacaran lebih  dahulu, tapi dia harus menempuh jarak 250 km untuk berpacaran, itu saja dengan waktu yang sangat terbatas. Akibat tekanan terus-menerus dari ibunya, dia jadi frustasi. Produktifitasnya jadi menurun, dan parahnya lagi dia jadi trauma dengan wanita dewasa. Perlahan-lahan orientasi seksualnya bergeser ke anak-anak kecil.

Menurunnya angka kelahiran secara drastis di Jepang juga kemungkinan akan terjadi di Indonesia beberapa ratus tahun kedepan. Cerita ke dua mungkin akan semakin banyak terjadi di Indonesia pada tahun-tahun mendatang, sedangkan cerita pertama mungkin akan semakin sedikit terjadi. Sebenarnya kejadian yang ada di cerita kedua dapat diantisipasi jika orang tua sudah melakukan penjodohan anaknya dari kecil, walaupun mungkin tidak bisa terantisipasi seratus persen. Antisipasi mungkin bisa dilakukan misal orang tua menjodohkan anak laki lakinya yang masih berusian 10 tahun dengan anak perempuan usia 5 tahun dari keluarga yang sudah dikenalnya. Sebagian besar orang menganggap pernikahan terjadi karena cinta, tapi sebenarnya pernikahan itu terjadi karena komitmen. Untuk menkondisikan anak usia 10 tahun sama anak usia 5 tahun saling cinta sebenarnya lebih mudah dari pada untuk membuat keduanya komit saat dewasa nanti. Akan tetapi atas dasar kenangan semasa kecil komitmen akan jauh lebih mudah dilakukan.

Semakian tinggi tingkat peradaban manusia, kebutuhan tentang perencanaan akan semakin penting. Menjodohkan anak sejak kecil adalah salah satu perencanaan yang di masa depan akan sangat diperlukan. Jika sudah ada arah yang akan dituju maka anak akan lebih mudah. Orang tua mungkin harus "mendekatkan" keduanya sejak kecil dengan harapan anak perempuan akan punya kecenderungan mengikuti "calon suaminya". Misalnya, dalam memilih sekolah anak perempuan yang sudah didekatkan dengan "calon suaminya" sejak kecil punya kecenderungan memilih sekolah yang sama dengan "calon suaminya", apalagi jika dia merupakan anak tunggal yang tidak punya sosok kakak. Kejadian tersebut mungkin berlanjut sampai dia dewasa yang berarti secara tidak sengaja mendekatkan dia secara geografis dengan "calon suaminya" tersebut. Kedekatan secara geografis ditambah dengan kenangan semasa kecil diharapkan mempermudah keduanya berkomitmen menuju pernikahan kelak.

Saturday, January 6, 2018

Wisata Alam di Desa Ternadi, Dawe, Kudus

Liburan natal tahun lalu aku kebetulan pulang ke kota Kudus. Karena lumayan lama, maka aku jadi sempat jalan-jalan juga. Di sebelah utara kota Kudus terdapat pegunungan Muria yang sudah sangat terkenal dengan makan Sunan Muria nya. Ternyata sekarang pariwisata di pegunungan Muria berkembang lebih jauh tidak hanya wisata religi yaitu ziarah ke makam Sunan Muria saja. Akhir-akhir ini lagi nge-hit yaitu wisata alam di desa Ternadi. Desa Ternadi sendiri berada sebelah berat dari makam Sunan Muria. Letaknya dekat sebenarnya tapi cuma beda puncak saja.

Pada kesampatan ini aku mencoba kesana. Ada dua tempat yang aku kunjungi. Namanya sebenarnya tidak begitu jelas. Lokasi pertama berupa bukit yang jadi tempat foto-foto, Lokasi kedaua adalah gardu pandang yang berada di puncak Kakas yang di puncaknya ada makamnya.

Lokasi Pertama :

Sebenarnya lokasi pertama ini tidaklah terlalu tinggi tempatnya dilihat dari garis kontur yang ada di google maps. Ada dua jalan menuju ke sana, Pertama motor diparkir di depan Musholla dan kemudian berjalan kaki. Kedua ada jalan lain yang motor dapat sampai atas. Aku memilih membawa motor sampai atas. Ternyata harus melewati tanjakan yang jalannya dari tanah. Parah lagi di tengah tanjakan ada yang becek. Sebenarnya terlalu nekat karena motor yang aku bawa adalah honda CS1 yang bannya pakai ban semi slick medium compound! Setelah dicoba ternyata sampai tengah tanjakan roda belakang kehilangan traksi total dan mundur sampai bawah dan akhirnya harus didorong.

Lokasi yang ini lumayan sepi sampai-sampai tidak ada yang jualan sama sekali. Jika mau minum misalnya siap-siaplah bawa dari bawah. Pengunjung semuanya anak-anak muda yang kelihatannya dari daerah sekitar saja.

Berikut foto fotonya :

Wisata Alam di Desa Ternadi, Bae, Kudus

Wisata Alam di Desa Ternadi, Bae, Kudus

Wisata Alam di Desa Ternadi, Bae, Kudus

Wisata Alam di Desa Ternadi, Bae, Kudus
Wisata Alam di Desa Ternadi, Bae, Kudus


Lokasi Kedua :

Lokasi kedua berada di puncak yang lebih tinggi dari lokasi pertama. Jalan menuju ke sana lebih baik walaupun lebih tinggi tempatnya. Di bagian bawah ada juga tempat buat berkemah dan waktu aku kesana kebetulan ada anak-anak sekolah yang sedang berkemah di sana. Di bagian atas banyak juga penjual makanan dan ada banyak gubug-gubuk yang dibuat untuk tempat istirahat.

Pengunjung lebih banyak dan lebih variatif di sini. Pengunjung yang membawa mobil juga ada tapi harus diparkir di bawah dan jalan atau naik ojek ke atas.

Berikut foto fotonya :

Wisata Alam di Desa Ternadi, Bae, Kudus

Wisata Alam di Desa Ternadi, Bae, Kudus
screenshot dashboard gps

sumber : www.raharjo.info